Jumat, 09 April 2010

menggembala bebek

Sinopsis:

Hujan turun semalaman. Udara jadi dingin dan bunga Ibu jadi rusak. Tapi hujan membuat bebek-bebek lebih mudah mencari makanan karena tanah tempatnya mencari makanan menjadi gembur. Naasnya, saat digembala, bebek-bebek Gilang dan Mayang merusak tanaman padi Om Minto. Maka harus ada yang mengabarkan dan tetap menjaga bebek-bebek. Butuh waktu untuk melakukan itu padahal aku hanya minta ijin sebentar kepada Ibu.



Semalam hujan lebat. Petir melintas beberapa kali. Cahayanya terlihat dari jendela kamarku yang bertirai. Kadang cepat disusul suara guntur bergemuruh kadang suara itu lamban dan pelan.

Angin bertiup dengan kencang. Aku mengetahuinya karena suara mendesau yang terdengar di luar. Di lubang angin di atas jendela kupasang lima burung origami yang kubuat dari lipatan kertas. Kelimanya terayun-ayun ditiup angin seperti terbang kian kemari. Untunglah dinding kamar yang dibuat dari susunan papan kayu tak bersela dan berlobang sama sekali. Angin tak bisa melewati.

Semalam aku merasa kedinginan. Untungnya aku punya selimut tebal yang kusimpan di almari. Aku tak biasa memakainya tapi semalam aku mengambilnya karena dinginnya tak seperti malam biasanya.

Suara hujan dan angin seperti suara musik tanpa dirijen. Tidak teratur dan tidak tertata dengan rapi. Sampai tertidur aku tak bisa membayangkan musik indah dari suara angin dan hujan yang masih turun.

Namaku Embun dan aku suka bangun pagi. Namaku Embun karena seperti embun-embun di dedaunan dan rerumputan aku selalu ceria dan cemerlang. Bahkan bunga-bungapun tahu kalau namaku Embun. Ya, mereka selalu menyapaku dengan keindahannya, seperti pagi ini.

Setelah hujan lebat semalam pagi ini langit cerah. Matahari belum menyembul di timur tapi berkasnya sudah nampak. Ibu di halaman depan merapikan tanaman.

Beberapa batang bunga lili yang ditanam rubuh. Tangkai bunga sedap malam di depan teras juga patah. Mungkin karena terlalu kecil untuk menahan bunga sekaligus ditimpa air hujan dan diterpa angin.

“Selamat pagi Sayang?” sapa ibu. Dan aku membalasnya. “Udaranya segar ya Bu?”. “Iya jawab ibu sambil tersenyum setelah menghirup dalam-dalam udara pagi.

Aku membantu ibu merapikan tanaman setelah diporak-porandakan hujan dan angin. Ada yang disangga dengan bilah bambu, ada juga yang terpaksa dipotong karena sudah tak tertolong.

Beberapa saat aku membantu ibu sampai kemudian aku mendengar suara bebek bersahut-sahutan. Itu pasti bebek milik Gilang. “Ibu aku mau lihat bebek Gilang sebentar.” Teriakku sambil berlari menuju parit di dekat jalan umum.

Sama tiba-tibanya dengan kepergianku, Ibu cepat melongok arah lariku lalu, “Hati-hati!” pesan Ibu. Aku menjawab iya sambil terus berlari menuju parit. Di parit itulah biasanya bebek-bebek digembalakan.

Hanya butuh beberapa langkah kaki menyusuri jalan setapak, aku telah sampai di tujuan. Benar tebakanku, Gilang sedang menggembala bebek-bebeknya. Ada mungkin lima belas ekor. Oh ternyata dia juga bersama Mayang adiknya.

Gilang melongok kepadaku sambil berlari mencegah rombongan bebeknya menyeberang jalan. “Dengan siapa?” tanyanya berseru, padahal ia tahu kalau aku datang sendiri.

Mayang kelihatan lucu memakai caping, sama lucunya dengan orang-orangan sawah. Dia sampai harus repot-repot mendongak untuk melihatku, lalu tersenyum. Dua tangannya membawa masing-masing satu anyaman bambu.

Kalau menggembala bebek biasanya mereka hanya membawa satu tempat, “Untuk apa yang ini?” tanyaku sambil menunjuk bawaan Mayang. “Ini untuk tempat telur, yang ini untuk tempat keong.” Gilang kemudian menimpali, “Keong itu untuk campuran makanan bebek nanti sore di rumah.”

Jika diberi campuran daging keong telur bebek lebih bagus, tidak mudah pecah. Juga membuat bebek lebih sehat. Dicampurkan ke dedak dan daun-daunan, terang Gilang kemudian.

Eit, seekor bebek Ngenthit alias kebelet bertelor. “Wah dasar bebek malas, lainnya sudah bertelor tadi pagi dia baru bertelor sekarang,” Gilang berseloroh.

Telur bebek berwarna biru muda. Seringnya dibuat telur asin atau untuk bahan membuat martabak. Kalau diceplok apalagi didadar rasanya lebih amis dari telur ayam.

Bebek-bebek sigap mencari makan. Apalagi sehabis hujan tanahnya gembur, cacing-cacing mudah dicari. Yang di tepi berlarian ke sana ke mari. Yang di tengah sambil berenang berkelak-kelok, paruhnya sering tiba-tiba mematuk sesuatu di air. Mungkin karena air parit penuh bebek-bebek itu jadi lebih riuh dari biasanya. Pagi-pagi begini bebek-bebek memang belum penuh temboloknya. Mereka masih rajin mencari makan.

Bebek-bebek berjalan berbondong-bondong. Ada satu yang jadi pemimpin. Kemana dia pergi yang lain nurut. Bahkan kalau dia menyeberang jalan, yang lain nurut juga. Kalau begini si gembala yang dibuat repot.

Untungnya bebek-bebek tak terlalu susah diatur. Di kibasi ancur, potongan bambu dua meteran, mereka sudah tahu diri. Berbelok menjauhi dari mana arah kibasan.

Di sebelah kiri parit adalah sawah. Ada beberapa petak yang sudah mulai ditanami, ada pula yang masih sedang diolah. Biasanya jarak waktu tanam antar petak sawah tak sampai hitungan minggu.

Di sawah yang baru diolah, bebek-bebek seperti menemukan lumbung makanan. Di sana mereka bisa menemu banyak cacing. Tapi kalau sampai masuk ke sawah yang baru ditanami, bebek-bebek akan merusaknya bahkan kadang memakannya.

Karenanya, si Gilang di tepi kanan parit agar bebek tak menyeberang jalan, Mayang di kiri parit agar bebek tak turun ke sawah. Aku membantu mayang di tepi kiri.

Bebek-bebek memang suka berbondong-bondong, berombongan, rukun. Jarang, atau mungkin tak ada bebek yang berjalan menyendiri.

Diawali pemimpinnya, tiba-tiba rombongan bebek itu di berduyun-duyun masuk ke sawah yang baru ditanami. Mayang dan aku yang sedang asyik mencari siput, terkejut. Tak tercegah lagi, bebek-bebek itu telah menciptakan bencana.

Gilang yang panik langsung meloncat ke seberang parit. Ancurnya cepat-cepat dikibaskan agar bebek-bebek segera menyingkir. Dia langsung ke pematang, agar lebih mudah mengusir. Aku dan Mayang hanya bisa menghalau dari tepi parit dengan suara keras dan melempari dengan tanah.

Bebek-bebek itu tak kalah paniknya dengan kami. Bedanya bebek-bebek itu panik berebut mendapat makanan, cacing favoritnya. Walaupun masih berombongan, mereka sudah tak serukun tadi. Tak sampai bertarung tapi masing-masing begitu tergesa ingin segera menghabiskan makanan yang tersedia, dan sibuk mencuri kesempatan. Bukankah itu juga panik namanya? Sedang bebek-bebek itu tak perduli kepanikan kami. Pemilik sawah akan marah kalau sawahnya sampai rusak.

Setelah usaha keras dan mati-matian untuk mengusir mereka, bebek-bebek itu menyingkir juga. Kembali ke parit dengan leher lurus tegak. Matanya seperti menatap kami. Entah karena menuntut penjelasan kenapa di usir atau karena masih ingin melanjutkan pesta makannya.

Dasar bebek, kelihatannya pergi berombongan tapi tetap saja berebutan makanan. Ah, bebek memang termasuk binatang rakus dan makannya banyak.

Tinggallah kami bertiga menatap sawah Om Minto. Beberapa tanaman padinya rubuh karena diterjang bahkan terinjak bebek. Bukan bebek itu yang harus mempertanggung-jawabkannya, tapi kami.

Kami bukan bebek yang tak bisa bertanggungjawab. Kami juga bukan bebek yang suka berebut maka kami harus membagi tugas.

Harus ada yang segera mengabarkan ke Om Minto dan harus ada yang tetap menjaga bebek-bebek agar tidak masuk ke sawah lagi maupun menyeberang jalan. Untuk menjaga bebek dibutuhkan dua orang di kanan dan di kiri parit. Jadi dibutuhkan tiga orang.

Justru di saat kami mengetahui tugas yang harus dibagi, aku baru teringat bahwa tadi aku hanya pamit sebentar kepada ibu. Untuk ke rumah Om Minto lumayan lama karena rumahnya lumayan jauh. Aku tak ingin membuat Ibu jadi khawatir menunggu karena aku tak biasa tak menepati janji.

“Bagaimana ini?” tanyaku pada Gilang dan Mayang. Mereka hanya diam, seperti tak enak untuk memintaku. Mungkin juga mereka berfikir aku tak harus ikut repot karena bebek-bebek itu bukan milikku. Aku tak tega membiarkan mereka berdua kebingungan walaupun juga tak tega membiarkan ibu khawatir.

“Baiklah ibu pasti mengerti,” pikirku dalam hati. Ada sesuatu yang lebih penting daripada menepati janjiku untuk segera pulang. Maka kami sepakat, aku dan Mayang menjaga bebek-bebek di kanan kiri parit sementara Gilang yang larinya cepat menyampaikan ke Om Minto.

Kali ini aku dan Mayang menjaga dengan hati-hati dan waspada. Kami tak ingin mengulang keteledoran yang sama yang tadi terjadi. Semoga Om Minto tidak marah. Semoga Ibu juga memaklumi alasan kenapa aku tak segera pulang. Bukankah ibu juga selalu mengajarkan bahwa menolong itu baik?

menjinakkan anjing

MENJINAKKAN ANJING

Chapter Books: 60-65 halaman bergambar atau 4-5 halaman dalam 1,5 spasi; 3-4 halaman per bab; 2-4 kalimat per paragraf; untuk anak usia 7-10 tahun;

Sinopsis:

Saat berangkat sekolah Rian digonggong anjing, milik seseorang yang baru pindah rumah. Ia harus menghadapinya atau jika tidak, terpaksa Rian setiap berangkat dan pulang sekolah harus lewat jalan memutar yang lebih jauh. Kami, teman-teman di sekolahnya membahas cara untuk bisa membantu Rian menghadapi anjing itu.

Namaku Embun dan aku suka bangun pagi. Setelah mandi dan gosok gigi aku bersiap berangkat sekolah.

Beberapa buku yang kusiapkan telah ada di dalam tas punggung. Pensil, bolpoint, rautan dan penghapus. Kukira sudah lengkap tapi rasanya ada yang kurang. Oh ya topi bundarku! Topi bundar buatan ibu.

Langit sedikit mendung tapi udara pagi tetap terasa menyegarkan. Keluar dari pintu kuhirup udara dalam-dalam sampai memenuhi rongga paru-paru. Sebelum keluar dari halaman adik berteriak-teriak. “Dah…dah…!” Akupun membalasnya.

Ke sekolah aku lebih suka lewat pematang sawah karena lebih dekat. Lewat jalan biasa akan lebih jauh. Tapi kalau padinya sudah tinggi aku tak berani lewat sawah karena banyak ularnya. Kalau padinya sudah tinggi aku lebih memilih jalan biasa.

Setelah melewati beberapa petak sawah sampailah di sebelah rumah Hari. Ia sudah ada di depan rumahnya. Kami memang berencana berangkat bersama. Setelah berpamitan kepada Ibunya kamipun berjalan menuju sekolah.

Dari rumah Hari kami harus lewat jalan yang biasa. Jika ingin lewat pematang nanti kami harus meloncati parit dan itu merepotkan. Kalau lewat jalan biasa di atas jalur parit itu ada jembatannya.

Lewat jalan biasa ada keuntungan lainnya. Kami berpapasan dengan teman-teman satu sekolah. Tanjung naik sepeda diiringi Lindri. “Ketemu di sekolah ya!” seru mereka sambil melewati kami. Setelah itu Robert juga melewati kami dengan diboncengkan ayahnya naik sepeda onta.

Sampai di sekolah suasana sudah ramai. Ada yang bermain, ada juga yang menggerombol bercerita. Si Robert yang gemuk itu malah sudah makan roti sambil duduk di pembatas taman. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Rian yang sama gemuknya dengan Robert tampak sedang jadi pusat perhatian. Beberapa teman mengelilinginya. Mereka mendengarkan sambil sebentar-sebentar tertawa bersama. Aku mendekat ingin tahu. Hari langsung menuju kelas untuk menaruh tas. Tergesa ia berlari, langsung pula ikut menggerombol.

“Aku gak ngapa-ngapain tapi tetap dikejar” ujar Rian. Ada apa sih tanyaku pada Tanjung yang juga sedang asyik mendengarkan. “Rian, sewaktu tadi berangkat sekolah dikejar anjing.” terang Tanjung.

Anjing itu milik orang baru. Ia baru saja pindah rumah. Rian tak kenal dengan pemilik anjing yang tadi mengejar dan menggonggongnya.

Sepatu Rian basah dan kotor. Ia berlari dikejar anjing sampai terperosok di selokan. Wajahnya sudah berkilau karena keringat yang sudah kering. Bajunyapun berantakan. Tampaknya ia mengalami pagi yang naas.

“Nanti pulang sekolah bagaimana?” Tanya Lindri. “Mungkin aku akan bawa pemukul untuk menakut-nakuti anjing”. Ia menjawab agak ragu. Mungkin merasa tak cukup berani untuk melakukannya. “Atau aku harus lewat jalan lain. Tapi jalan itu lebih memutar dan butuh waktu lebih lama,” jawab Rian.

Jika dia menghindari maka setiap berangkat dan pulang sekolah Rian harus selalu lewat jalan memutar. Tapi untuk melawan keganasan si anjing yang menggonggongi dan mengejarnya Rian tak berani.

“Minta saja kepada orang dewasa yang kau temui di dekat rumah anjing itu untuk mengusirnya,”usul Tanjung. “Tapi apakah pasti setiap kali lewat ada orang dewasa yang kebetulan melintas?” Salah seorang menimpali.

Banyak usul bermunculan lalu ditampung, sambil mencari penyelesaian yang lebih mungkin dan mudah. Lalu bel berbunyi, tandanya jam pelajaran dimulai.

Saat pelajaran Pak Guru membacakan kisah Pangeran Kecil, terjemahan dari Little Prince karya Antoine. Entah kebetulan atau tidak, di dalamnya ada peristiwa saat Pangeran Kecil menjinakkan seekor rubah.

Pangeran kecil bertemu dengan seekor rubah. Ia jadi teringat pada bunga yang ditanam di rumah yang ditinggalkannya. Bunga itu adalah sahabat satu-satunya bagi Si Pangeran Kecil. Ia selalu menyiram dan memeliharanya.

“Seseorang hanya akan mengerti apa yang sudah dijinakkannya. Jadi jika kau menginginkan sahabat, jinakkanlah aku” tutur Pak Guru menirukan kata-kata si rubah.

Ya, menjinakkan. Seperti ibu yang selalu memelihara bunga sehingga bunga-bunga yang ditanam menjadi sahabatnya. Seperti aku yang berusaha mengerti ‘kenakalan’ adikku sehingga kini ia menjadi sahabatku.

Cerita itu menginspirasiku. “Rian, bukankah anjing itu bisa dijinakkan?” aku mengajukan sebuah ide dalam bentuk pertanyaan kepada Rian. Ia menatapku sejenak lalu berujar, “Aku tak pernah mempunyai peliharaan, aku tak tahu bagaimana caranya menjinakkan.”

“Kita bisa bertanya kepada seseorang yang tahu,” kata Tanjung. Tapi siapa, itulah masalahnya. Aku berusaha mengingat-ingat orang yang kukenal yang bisa menjinakkan anjing. “Ah ya tentu saja si pemilik anjing itu,” pekikku pada teman-teman yang lain. Aku merasa telah menemukan sebuah penyelesaian.

Yang lain ikut mengangguk-angguk. “Ya, pastilah si pemilik anjing itu tahu caranya, tapi bagaimana kita kesana? Jangankan masuk, lewat depan rumahnya pun kita mungkin sudah dikejar si anjing peliharaannya.” Rian mengingatkan.

“Ini hanya usul, bagaimana jika datang bersama-sama? Kalau bersama-sama mungkin anjingnya yang jadi takut kepada kita. Apalagi kalau masing-masing dari kita membawa kayu”. Tanjung si kurus mengajukan ide brilian.

Begitulah, kami sedang mempersiapkan sebuah petualangan bersama, MENGHADAPI ANJING. Usai sekolah, satu demi satu datang dan berkumpul di gerbang sekolah.

Kami seperti pasukan yang siap berperang. Si Tanjung bahkan sudah membawa ranting panjang. Dia meminta dari Pak Warso penjaga sekolah. “Kita mendapat tambahan dukungan,” Si Lindri datang sambil berseru. Di sebelahnya si Eni dan Robet yang tadi pagi tidak ikut berembug.

“Robet ayo, kita pulang sekalian mampir kantor pos!” O…ooo. Ayah Robet sudah menunggu. Berkuranglah anggota pasukan. “Maaf yaa…,” Robet beringsut dengan membawa tatapan merasa bersalah.

Semua yang sudah berkumpul seakan baru ingat bahwa mereka belum minta ijin kepada orang-tuanya. Bisa-bisa mereka dicari-cari ayah-ibunya. Wah, karena terlalu semangat malah jadi lupa harus pulang dulu.

“begini saja, nanti sore jam tiga kita berkumpul di rumahku karena rumahku paling dekat dengan rumah pemilik anjing. Lalu kita bersama-sama menemuinya ” usul dari Lindri. Aku setuju, Hari yang berdiri di sebelahku juga setuju. Semua yang telah berkumpul menyatakan setuju.

Jadi kami semua sepakat perang MENGHADAPI ANJING ditunda nanti sore. Rian untuk kali ini terpaksa harus pulang lewat jalan memutar untuk menghindari menjadi korban si anjing. Hanya untuk kali ini, sebab nanti sore kami sudah akan bisa MENJINAKKAN ANJING.

Sore jam tiga kurang, Hari sudah menyambangiku. Setelah pamit kepada Ibu aku dan Hari segera menuju rumah Lindri. Udara terasa panas. Untunglah jalan menuju rumah Lindri dinaungi rimbun dahan pepohonan.

Sampai di rumah Lindri teman-teman yang lain telah berkumpul tinggal menunggu Tanjung. Beberapa saat kemudian Tanjung datang bersama Robet. Rumah mereka memang bersebelahan. Utuhlah pasukan penjinak anjing kami.

Kami segera berangkat. Masing-masing membawa galah atau ranting. Berjalan tidak terlalu jauh lalu menyeberangi sebuah jalan raya, sampailah kami di dekat rumah tujuan.

Dengan pelan dan waspada, setapak demi setapak kami menuju gerbang rumah yang dituju. Semua nampak tegang, khawatir kalau-kalau tiba-tiba si anjing muncul.

Dari luar kami mengawasi halaman rumah besar di depan. Pelan-pelan kami melongok ke kanan dan ke kiri. Dan, “Guk..guk..guk!” suara itu membuat kami pontang-panting. Ada yang lari ke seberang jalan ada pula yang mencari tempat sembunyi.

“Texi…Texi…texi!” anjing itu dipanggil pemiliknya. Seorang perempuan yang usianya lebih tua dari kami. Si anjing yang bernama Texi itu berhenti mendekati kami tapi tetap menggonggong.

Setelah suasana aman dan terkendali, tali pengikat terpegang si pemilik, Texi disingkirkan ke dalam rumah, dan teman-teman sudah kembali ke dalam barisan, Kakak pemilik anjing itu meminta maaf sambil menanyakan maksud kedatangan kami yang berombongan. Aku lihat dahinya mengernyit melihat setiap kami membawa galah dan ranting kayu. Walau begitu kakak itu tak menanyakannya.

Awalnya kami hanya saling berpandangan, lalu aku mulai menjawab. Aku menceritakan tentang kisah Rian tadi pagi. Aku juga menyampaikan niatan kami untuk belajar menjinakkan anjing.

Kakak itu tersenyum. Ia mempersilahkan kami masuk. Kami duduk di gazebo yang ada di halaman depan.

“Kakak minta maaf. Karena kurang hati-hati membuat celaka Rian. Tadi pagi kakak lupa membawanya ikut berbelanja sayuran. Kalau Texi sendirian di rumah, ia akan menggonggong ke setiap orang yang lewat. Ia merasa harus menjaga rumah.”

“Untuk menjinakkan anjing dibutuhkan kesabaran. Anjing harus dibuat terbiasa dengan kehadiran kita, dan jangan dibuat takut. Sebenarnya anjing menggonggong lebih sering karena takut atau terganggu daripada ingin menggigit.”

“Jadi kita harus terbiasa dengannya, sampai berapa lama?” Tanya Rian. “mungkinkah menjinakkan anjing dalam satu hari?” lanjutku.

“Dimulai dari satu hari, kemudian dua hari, kemudian tiga hari. Itulah kesabaran. Kita tak bisa menjinakkan anjing dengan cara tergesa.” Jika anjing sudah terbiasa maka ia akan jinak dengan sendirinya.

“Kalian mau memulainya hari ini?” Tanya kakak. Lagi-lagi kami saling bertatapan sambil menyimpan rasa panik. Kami tak tahu apa yang akan terjadi. “Siapa takut” celetuk Robet.

“Baiklah kita mulai pelajaran pertama menjinakkan anjing dengan praktek.” Kakak itu menuju pintu rumah. Kami membuang galah dan ranting kayu yang kami geletakkan dekat gazebo. Sudah tak diperlukan lagi. Dan….mulailah kami belajar menjinakkan anjing.

tak ada embun yang pucat

Chapter Books: 60-65 halaman bergambar atau 4-5 halaman dalam 1,5 spasi; 3-4 halaman per bab; 2-4 kalimat per paragraf; untuk anak usia 7-10 tahun


Namaku Embun, umurku 9 tahun. Mataku lebar, hidungku kecil, bibirku manis, rambutku panjang dan keriting. Kecuali saat di rumah, kemana-mana aku suka memakai topi bundar. Topi itu adalah hasil buatan ibu, maka aku sangat senang memakainya.

Rumah kebanyakan orang berada persis di tepi jalan tetapi rumahku tidak. Rumahku berada di tengah hamparan ladang jagung. Ada sebuah jalan setapak yang menghubungkan rumahku dengan jalan tempat orang berlalu lalang. Jalan setapak itu panjangnya sama dengan lima puluh langkah kakiku. Di tepi kiri dan kanannya dibuat pagar memanjang dari kayu-kayu bulat sebesar lenganku. Penyangganya dari kayu bulat yang lebih besar.

Jika ingat namaku dan tahu nama desaku, kau pasti bisa sampai rumahku. Bertanyalah kepada seseorang di desaku, “Dimanakah tempat tinggal Embun?“ Maka mereka akan menunjukkannya karena mereka semua mengenalku. Kalau kau takut tersesat, mereka pasti mau mengantar. Orang-orang di desaku ramah-ramah dan suka menolong.

Aku juga suka menolong. Kalau ada yang bertanya tempat tinggal tetanggaku, pasti aku akan menunjukkannya. Kalau perlu aku juga mau mengantarnya. Sayangnya belum pernah ada yang bertanya padaku.

Rumah kebanyakan orang terbuat dari tembok tetapi rumahku tidak. Rumah-rumah di desaku terbuat dari papan kayu, begitu juga rumahku. Kata ayah agar tidak mudah rusak. Katanya tanah di desaku mudah bergerak. Awalnya aku tak tahu maksudnya karena setahuku tanah tidak bisa bergerak. Lalu ayah mencontohkan dengan gempa.

Terjadinya gempa itu karena tanah bergerak cepat sehingga rumah juga begitu cepat rusak. Tanah di tempatku bergeraknya sangat lambat sehingga rumah di tempat tinggalku juga sedikit demi sedikit rusak. Kalau dari tembok akan mudah retak tapi kalau dari kayu akan sulit retak. Ayah memang pandai menerangkan apa yang tidak aku tahu.

Papan-papan kayu yang disusun rapi menjadikan dinding-dinding tidak berlobang ataupun bercelah. Kayunya pun tebal-tebal dan lurus. Rumah itu dibuat sebelum aku lahir.

Kamarku berada di bagian depan. Ada satu jendela menghadap ke halaman. Di halaman ibu menanam bunga yang jumlahnya banyak sekali. Ada yang langsung ditanam di tanah ada pula yang ditanam di dalam pot.

Di tengah rumah adalah ruang tamu yang punya dua jendela lebar dan satu pintu menghadap ke teras. Kamar ayah dan ibu ada di sebelahnya lagi. Jadi kalau dari kamarku mau ke kamar ayah dan ibu, aku harus melewati ruang tamu.

Namaku Embun sama seperti nama butiran air yang biasanya menempel di daun atau rumput. Pernahkah kau melihat embun? Embun-embun selalu cerah dan ceria. Tahukah kau kenapa? Karena embun-embun selalu bangun pagi. Makanya mereka selalu bisa datang pagi hari.

Namaku Embun dan aku selalu ceria. Kau tahu kenapa? Karena aku juga selalu bangun pagi. Aku senang bangun pagi lalu membuka jendela kamar. Udara pagi terasa segar dan aku suka menghirupnya dalam-dalam. Kata ibu itu bisa membuat tubuhku juga menjadi segar dan sehat.

Tak ada hari yang terlalu pagi untuk bangun, juga di saat hari libur. Di saat libur, setelah membuka jendela, aku akan menyusul ibu di halaman depan. Di pagi hari ibu selalu berada di halaman depan untuk memelihara tanaman agar tidak rusak. Disiram dengan air agar tidak layu. Batang-batang yang patah dipotong agar bisa tumbuh daun-daun muda yang baru. Kadang ibu juga memberi pupuk yang menjadikan tanaman ibu selalu rimbun dan subur. Bunga-bunganya juga banyak dan indah-indah. Kalau tak dipelihara dengan baik dan tekun pastilah tanaman itu tak seindah sekarang ini. Ibuku seorang yang tekun dan sabar, tak pernah jengkel kecuali.....pada adikku.

Aku punya seorang adik umurnya 3 tahun, tapi aku tak suka menceritakannya. Aku ingin menjadi embun yang selalu ceria, tapi adikku seperti punya banyak cara untuk menggagalkannya. Dia sangat nakal.

Kalau makan dia suka menyembur-nyemburkan makanannya. Meja makan jadi kotor dan berantakan. Di lain waktu dia makan sambil berlari-lari mengitari meja, lalu mengitari ruangan, lalu berlari ke seluruh tempat. Merangkak di bawah meja atau berdiri di kursi sambil berpura-pura bisa terbang. Ayah dan ibu sering memperingatkan tapi adik masih saja mengulangnya.

Adikku tidur bersama ayah dan ibu. Dia juga suka bangun pagi. Tapi itu justru lebih sering membuat suasana menjadi kacau. Aku lebih senang kalau dia bangun kesiangan.

Hari ini lagi-lagi dia bangun pagi. Beberapa saat kemudian Ibu memandikannya. Setelah itu dia makan dengan caranya yang tidak aku sukai itu. Kali ini dia makan sambil terus merengek-rengek dicarikan sepasang kaos kaki putihnya yang kemarin dia pakai.

“Kemarin sehabis dipakai kamu taruh mana?“ Ibu menanyainya. “Aku taruh di kursi kok sekarang ndak ada?“ “Kalau sekarang tidak ada berarti kamu lupa“ kata Ibu. “Enggak, kemarin aku taruh di kursi.“ Adikku membela diri sambil masih merengek-rengek.

Ibu sibuk mencari-cari. Ayah membawakan sepasang kaos kaki. Adik tidak mau karena yang dia mau kaos kaki warna putih sedangkan kaos kaki yang diberikan ayah berwarna biru.

Ayah menyerah dan kembali duduk di meja makan sambil mengamati sudut-sudut ruang. “Tidak mau pergi kok pakai kaos kaki.“ Kataku pada adikku. Dia tetap saja merengek-rengek.

Ibu merangkak, mencari-cari di kolong meja dan kursi tapi tetap tidak menemu. Ternyata kaos kaki itu dipakai atau lebih tepatnya dipakaikan, pastinya oleh adikku, pada salah satu boneka mainannya. Ibu yang menemukannya.

Seakan tak perduli dengan kesalahannya yang lupa di mana menaruh kaos kaki, dia langsung saja menyambar kaos kaki putih satu-satunya dari tangan ibu. Dia pakai di tangan lalu meniru gaya orang balapan. Berputar-putar sambil meraung-raung, sampai ia sendiri merasa bosan. Tapi itu bukan berarti lelah dan berhenti membuat berisik.

“Kak lihat cara melompatku,“ serunya. Ia sudah melompat untuk kesekian kalinya. Mungkin sudah lebih dari seratus kali. Dia terus melompat-lompat. Lompatan yang diulang-ulang tapi adikku tak bosan-bosan. Jika dia menemukan satu lompatan yang sedikit saja berbeda, adikku akan berteriak minta perhatian, terutama kepadaku. Kepada ayah dan ibu dia jarang minta diperhatikan karena ayah ibu selalu mau memperhatikannya.

Aku bosan melihat tingkah polah adikku. Aku ke halaman samping. Di sana aku punya sebuah tenda kecil yang dinaungi sebuah pohon besar. Di sana aku menyimpan beberapa mainan yang kubuat sendiri: Sebuah rumah-rumahan yang kubuat sendiri dari ranting-ranting kecil, burung-burung origami yang kubuat dengan melipat-lipat kertas, kugantung di dahan yang menggelayut di dekat tenda, dan sebuah sarang untuk calon kelinciku.

Aku ingin punya kelinci tapi ibu belum membelikan. Seandainya aku tahu tempat dimana orang menjual kelinci, pasti aku akan membelinya sendiri dari uang tabungan. Bukankah kelinci itu lucu?

Kata ibuku kelinci itu suka berpindah-pindah rumah. Tapi aku pasti bisa membuatnya betah tetap tinggal di rumahku. Aku akan berlaku baik padanya, memberinya makan setiap waktu dengan daun-daun. Membelainya kalau mau tidur. seandainya aku punya kelinci pasti aku jadi punya teman saat sedang di tenda. Seandainya aku punya kelinci pasti aku selalu bisa menjadi embun yang ceria.

Aku punya mainan baru yang belum selesai. Orang-orangan yang terbuat dari rangkaian kayu. Tinggal kurang satu kaki. Aku belum menemukan ranting yang bentuknya tepat untuk menjadi kaki sebelah kiri. Jika sudah lengkap, akan kubuatkan orang-oranganku baju dari kain sisa ibu menjahit.

Mataku mencari-cari di sekitar halaman barangkali ada ranting yang kuharapkan. Beberapa ranting kutemukan tapi semuanya tidak pas. Ada yang terlalu kecil atau ranting yang lain terlalu besar.

Ada satu ranting yang ukurannya sedikit pas tapi bentuknya lurus. Aku ingin ranting yang bengkok menyudut sehingga orang-orangan yang kubuat seperti sedang berlari.

Aku sedang merangkak-rangkak di bawah pohon saat adik datang. “Kak sedang Apa?“ tanyanya. “Sedang mencari ranting,“ jawabku. Kemudian dia ikut-ikutan merangkak. Ikut mencari-cari ranting. Aku masih mencari di bawah pohon yang sama tapi adik sudah mencari sampai sudut-sudut halaman di bawah pohon yang berbeda. Dia lebih cepat bergerak kesana kemari. Setiap kali dia menemukan ranting, dia akan kembali berlari mendekat sambil menyorongkan temuannya. “Ini?“ tanyanya. “Bukan yang seperti itu,“ jawabku. Begitu berulangkali.

Aku jadi lebih sering mengomentari hasil temuan adik yang di sorongkannya daripada kesempatanku menimbang-nimbang hasil temuanku sendiri. Aku sudah hampir putus asa. Lebih baik aku menunggu dahan-dahan baru yang akan jatuh esok hari. Tapi adikku masih berlari kesana kemari. Hanya sesekali dia berhenti.

Adik sebenarnya tidak tahu ranting seperti apa yang aku inginkan. Dia hanya membawa apapun hasil temuannya.

Untuk kesekian kali dia berlari mendekat sambil menggenggam sebuah dahan baru hasil pencariannya. Dan dialah penemu itu! Dahan yang dia bawa tepat seperti yang kuinginkan. Lengkaplah bonekaku.

Aku melompat agar adikku tahu kalau aku senang sebagai ungkapan terimakasih. Adikku juga ikut melompat tapi ia mengulanginya beberapa kali. Sama seperti yang dilakukannya sewaktu tadi makan.

Agar dia tidak kecewa, aku ikut melompat-lompat seperti adikku. Aku jadi senang melakukannya. Aku merasa seperti penari yang pernah kulihat di televisi. Aku meniru beberapa gaya yang masih kuingat. Adikku meniru gayaku.

Kami berdua melakukannya sambil tertawa-tawa. Adikku mengusulkan beberapa gerakan dan kami berdua melakukannya bersama-sama. Sewaktu tadi di tempat makan aku bosan melihat adik melompat-lompat. Kini aku justru ikut melakukannya. Dia memang punya alasan untuk melompat-lompat.

Apakah aku masih butuh kelinci untuk menjadi teman bermain saat sendiri? Kini adik menjadi temanku bermain. Sebagai kakak, kini aku punya cara untuk bisa selalu menjadi embun yang ceria. Aku akan selalu mau ikut bermain bersamanya dan tidak menolaknya. Aku mulai paham, dia hanya ingin diakui kehadirannya.