Sinopsis:
Hujan turun semalaman. Udara jadi dingin dan bunga Ibu jadi rusak. Tapi hujan membuat bebek-bebek lebih mudah mencari makanan karena tanah tempatnya mencari makanan menjadi gembur. Naasnya, saat digembala, bebek-bebek Gilang dan Mayang merusak tanaman padi Om Minto. Maka harus ada yang mengabarkan dan tetap menjaga bebek-bebek. Butuh waktu untuk melakukan itu padahal aku hanya minta ijin sebentar kepada Ibu.
Semalam hujan lebat. Petir melintas beberapa kali. Cahayanya terlihat dari jendela kamarku yang bertirai. Kadang cepat disusul suara
Angin bertiup dengan kencang. Aku mengetahuinya karena suara mendesau yang terdengar di luar. Di lubang angin di atas jendela kupasang
Semalam aku merasa kedinginan. Untungnya aku punya selimut tebal yang kusimpan di almari. Aku tak biasa memakainya tapi semalam aku mengambilnya karena dinginnya tak seperti malam biasanya.
Suara hujan dan angin seperti suara musik tanpa dirijen. Tidak teratur dan tidak tertata dengan rapi. Sampai tertidur aku tak bisa membayangkan musik indah dari suara angin dan hujan yang masih turun.
Namaku Embun dan aku suka bangun pagi. Namaku Embun karena seperti embun-embun di dedaunan dan rerumputan aku selalu ceria dan cemerlang. Bahkan bunga-bungapun tahu kalau namaku Embun. Ya, mereka selalu menyapaku dengan keindahannya, seperti pagi ini.
Setelah hujan lebat semalam pagi ini langit cerah. Matahari belum menyembul di timur tapi berkasnya sudah nampak. Ibu di halaman depan merapikan tanaman.
Beberapa batang bunga lili yang ditanam rubuh. Tangkai bunga sedap malam di depan teras juga patah. Mungkin karena terlalu kecil untuk menahan bunga sekaligus ditimpa air hujan dan diterpa angin.
“Selamat pagi Sayang?” sapa ibu. Dan aku membalasnya. “Udaranya segar ya Bu?”. “Iya jawab ibu sambil tersenyum setelah menghirup dalam-dalam udara pagi.
Aku membantu ibu merapikan tanaman setelah diporak-porandakan hujan dan angin.
Beberapa saat aku membantu ibu sampai kemudian aku mendengar suara bebek bersahut-sahutan. Itu pasti bebek milik Gilang. “Ibu aku mau lihat bebek Gilang sebentar.” Teriakku sambil berlari menuju parit di dekat jalan umum.
Sama tiba-tibanya dengan kepergianku, Ibu cepat melongok arah lariku lalu, “Hati-hati!” pesan Ibu. Aku menjawab iya sambil terus berlari menuju parit. Di parit itulah biasanya bebek-bebek digembalakan.
Hanya butuh beberapa langkah kaki menyusuri jalan setapak, aku telah sampai di tujuan. Benar tebakanku, Gilang sedang menggembala bebek-bebeknya.
Gilang melongok kepadaku sambil berlari mencegah rombongan bebeknya menyeberang jalan. “Dengan siapa?” tanyanya berseru, padahal ia tahu kalau aku datang sendiri.
Mayang kelihatan lucu memakai caping, sama lucunya dengan orang-orangan sawah. Dia sampai harus repot-repot mendongak untuk melihatku, lalu tersenyum. Dua tangannya membawa masing-masing satu anyaman bambu.
Kalau menggembala bebek biasanya mereka hanya membawa satu tempat, “Untuk apa yang ini?” tanyaku sambil menunjuk bawaan Mayang. “Ini untuk tempat telur, yang ini untuk tempat keong.” Gilang kemudian menimpali, “Keong itu untuk campuran makanan bebek nanti sore di rumah.”
Jika diberi campuran daging keong telur bebek lebih bagus, tidak mudah pecah. Juga membuat bebek lebih sehat. Dicampurkan ke dedak dan daun-daunan, terang Gilang kemudian.
Eit, seekor bebek Ngenthit alias kebelet bertelor. “Wah dasar bebek malas, lainnya sudah bertelor tadi pagi dia baru bertelor sekarang,” Gilang berseloroh.
Telur bebek berwarna biru muda. Seringnya dibuat telur asin atau untuk bahan membuat martabak. Kalau diceplok apalagi didadar rasanya lebih amis dari telur ayam.
Bebek-bebek sigap mencari makan. Apalagi sehabis hujan tanahnya gembur, cacing-cacing mudah dicari. Yang di tepi berlarian ke
Bebek-bebek berjalan berbondong-bondong.
Untungnya bebek-bebek tak terlalu susah diatur. Di kibasi ancur, potongan bambu dua meteran, mereka sudah tahu diri. Berbelok menjauhi dari mana arah kibasan.
Di sebelah kiri parit adalah sawah.
Di sawah yang baru diolah, bebek-bebek seperti menemukan lumbung makanan. Di
Karenanya, si Gilang di tepi kanan parit agar bebek tak menyeberang jalan, Mayang di kiri parit agar bebek tak turun ke sawah. Aku membantu mayang di tepi kiri.
Bebek-bebek memang suka berbondong-bondong, berombongan, rukun. Jarang, atau mungkin tak ada bebek yang berjalan menyendiri.
Diawali pemimpinnya, tiba-tiba rombongan bebek itu di berduyun-duyun masuk ke sawah yang baru ditanami. Mayang dan aku yang sedang asyik mencari siput, terkejut. Tak tercegah lagi, bebek-bebek itu telah menciptakan bencana.
Gilang yang panik langsung meloncat ke seberang parit. Ancurnya cepat-cepat dikibaskan agar bebek-bebek segera menyingkir. Dia langsung ke pematang, agar lebih mudah mengusir. Aku dan Mayang hanya bisa menghalau dari tepi parit dengan suara keras dan melempari dengan tanah.
Bebek-bebek itu tak kalah paniknya dengan kami. Bedanya bebek-bebek itu panik berebut mendapat makanan, cacing favoritnya. Walaupun masih berombongan, mereka sudah tak serukun tadi. Tak sampai bertarung tapi masing-masing begitu tergesa ingin segera menghabiskan makanan yang tersedia, dan sibuk mencuri kesempatan. Bukankah itu juga panik namanya? Sedang bebek-bebek itu tak perduli kepanikan kami. Pemilik sawah akan marah kalau sawahnya sampai rusak.
Setelah usaha keras dan mati-matian untuk mengusir mereka, bebek-bebek itu menyingkir juga. Kembali ke parit dengan leher lurus tegak. Matanya seperti menatap kami. Entah karena menuntut penjelasan kenapa di usir atau karena masih ingin melanjutkan pesta makannya.
Dasar bebek, kelihatannya pergi berombongan tapi tetap saja berebutan makanan. Ah, bebek memang termasuk binatang rakus dan makannya banyak.
Tinggallah kami bertiga menatap sawah Om Minto. Beberapa tanaman padinya rubuh karena diterjang bahkan terinjak bebek. Bukan bebek itu yang harus mempertanggung-jawabkannya, tapi kami.
Kami bukan bebek yang tak bisa bertanggungjawab. Kami juga bukan bebek yang suka berebut maka kami harus membagi tugas.
Harus ada yang segera mengabarkan ke Om Minto dan harus ada yang tetap menjaga bebek-bebek agar tidak masuk ke sawah lagi maupun menyeberang jalan. Untuk menjaga bebek dibutuhkan dua orang di kanan dan di kiri parit. Jadi dibutuhkan tiga orang.
Justru di saat kami mengetahui tugas yang harus dibagi, aku baru teringat bahwa tadi aku hanya pamit sebentar kepada ibu. Untuk ke rumah Om Minto lumayan lama karena rumahnya lumayan jauh. Aku tak ingin membuat Ibu jadi khawatir menunggu karena aku tak biasa tak menepati janji.
“Bagaimana ini?” tanyaku pada Gilang dan Mayang. Mereka hanya diam, seperti tak enak untuk memintaku. Mungkin juga mereka berfikir aku tak harus ikut repot karena bebek-bebek itu bukan milikku. Aku tak tega membiarkan mereka berdua kebingungan walaupun juga tak tega membiarkan ibu khawatir.
“Baiklah ibu pasti mengerti,” pikirku dalam hati.
Kali ini aku dan Mayang menjaga dengan hati-hati dan waspada. Kami tak ingin mengulang keteledoran yang sama yang tadi terjadi. Semoga Om Minto tidak marah. Semoga Ibu juga memaklumi alasan kenapa aku tak segera pulang. Bukankah ibu juga selalu mengajarkan bahwa menolong itu baik?