Jumat, 09 April 2010

tak ada embun yang pucat

Chapter Books: 60-65 halaman bergambar atau 4-5 halaman dalam 1,5 spasi; 3-4 halaman per bab; 2-4 kalimat per paragraf; untuk anak usia 7-10 tahun


Namaku Embun, umurku 9 tahun. Mataku lebar, hidungku kecil, bibirku manis, rambutku panjang dan keriting. Kecuali saat di rumah, kemana-mana aku suka memakai topi bundar. Topi itu adalah hasil buatan ibu, maka aku sangat senang memakainya.

Rumah kebanyakan orang berada persis di tepi jalan tetapi rumahku tidak. Rumahku berada di tengah hamparan ladang jagung. Ada sebuah jalan setapak yang menghubungkan rumahku dengan jalan tempat orang berlalu lalang. Jalan setapak itu panjangnya sama dengan lima puluh langkah kakiku. Di tepi kiri dan kanannya dibuat pagar memanjang dari kayu-kayu bulat sebesar lenganku. Penyangganya dari kayu bulat yang lebih besar.

Jika ingat namaku dan tahu nama desaku, kau pasti bisa sampai rumahku. Bertanyalah kepada seseorang di desaku, “Dimanakah tempat tinggal Embun?“ Maka mereka akan menunjukkannya karena mereka semua mengenalku. Kalau kau takut tersesat, mereka pasti mau mengantar. Orang-orang di desaku ramah-ramah dan suka menolong.

Aku juga suka menolong. Kalau ada yang bertanya tempat tinggal tetanggaku, pasti aku akan menunjukkannya. Kalau perlu aku juga mau mengantarnya. Sayangnya belum pernah ada yang bertanya padaku.

Rumah kebanyakan orang terbuat dari tembok tetapi rumahku tidak. Rumah-rumah di desaku terbuat dari papan kayu, begitu juga rumahku. Kata ayah agar tidak mudah rusak. Katanya tanah di desaku mudah bergerak. Awalnya aku tak tahu maksudnya karena setahuku tanah tidak bisa bergerak. Lalu ayah mencontohkan dengan gempa.

Terjadinya gempa itu karena tanah bergerak cepat sehingga rumah juga begitu cepat rusak. Tanah di tempatku bergeraknya sangat lambat sehingga rumah di tempat tinggalku juga sedikit demi sedikit rusak. Kalau dari tembok akan mudah retak tapi kalau dari kayu akan sulit retak. Ayah memang pandai menerangkan apa yang tidak aku tahu.

Papan-papan kayu yang disusun rapi menjadikan dinding-dinding tidak berlobang ataupun bercelah. Kayunya pun tebal-tebal dan lurus. Rumah itu dibuat sebelum aku lahir.

Kamarku berada di bagian depan. Ada satu jendela menghadap ke halaman. Di halaman ibu menanam bunga yang jumlahnya banyak sekali. Ada yang langsung ditanam di tanah ada pula yang ditanam di dalam pot.

Di tengah rumah adalah ruang tamu yang punya dua jendela lebar dan satu pintu menghadap ke teras. Kamar ayah dan ibu ada di sebelahnya lagi. Jadi kalau dari kamarku mau ke kamar ayah dan ibu, aku harus melewati ruang tamu.

Namaku Embun sama seperti nama butiran air yang biasanya menempel di daun atau rumput. Pernahkah kau melihat embun? Embun-embun selalu cerah dan ceria. Tahukah kau kenapa? Karena embun-embun selalu bangun pagi. Makanya mereka selalu bisa datang pagi hari.

Namaku Embun dan aku selalu ceria. Kau tahu kenapa? Karena aku juga selalu bangun pagi. Aku senang bangun pagi lalu membuka jendela kamar. Udara pagi terasa segar dan aku suka menghirupnya dalam-dalam. Kata ibu itu bisa membuat tubuhku juga menjadi segar dan sehat.

Tak ada hari yang terlalu pagi untuk bangun, juga di saat hari libur. Di saat libur, setelah membuka jendela, aku akan menyusul ibu di halaman depan. Di pagi hari ibu selalu berada di halaman depan untuk memelihara tanaman agar tidak rusak. Disiram dengan air agar tidak layu. Batang-batang yang patah dipotong agar bisa tumbuh daun-daun muda yang baru. Kadang ibu juga memberi pupuk yang menjadikan tanaman ibu selalu rimbun dan subur. Bunga-bunganya juga banyak dan indah-indah. Kalau tak dipelihara dengan baik dan tekun pastilah tanaman itu tak seindah sekarang ini. Ibuku seorang yang tekun dan sabar, tak pernah jengkel kecuali.....pada adikku.

Aku punya seorang adik umurnya 3 tahun, tapi aku tak suka menceritakannya. Aku ingin menjadi embun yang selalu ceria, tapi adikku seperti punya banyak cara untuk menggagalkannya. Dia sangat nakal.

Kalau makan dia suka menyembur-nyemburkan makanannya. Meja makan jadi kotor dan berantakan. Di lain waktu dia makan sambil berlari-lari mengitari meja, lalu mengitari ruangan, lalu berlari ke seluruh tempat. Merangkak di bawah meja atau berdiri di kursi sambil berpura-pura bisa terbang. Ayah dan ibu sering memperingatkan tapi adik masih saja mengulangnya.

Adikku tidur bersama ayah dan ibu. Dia juga suka bangun pagi. Tapi itu justru lebih sering membuat suasana menjadi kacau. Aku lebih senang kalau dia bangun kesiangan.

Hari ini lagi-lagi dia bangun pagi. Beberapa saat kemudian Ibu memandikannya. Setelah itu dia makan dengan caranya yang tidak aku sukai itu. Kali ini dia makan sambil terus merengek-rengek dicarikan sepasang kaos kaki putihnya yang kemarin dia pakai.

“Kemarin sehabis dipakai kamu taruh mana?“ Ibu menanyainya. “Aku taruh di kursi kok sekarang ndak ada?“ “Kalau sekarang tidak ada berarti kamu lupa“ kata Ibu. “Enggak, kemarin aku taruh di kursi.“ Adikku membela diri sambil masih merengek-rengek.

Ibu sibuk mencari-cari. Ayah membawakan sepasang kaos kaki. Adik tidak mau karena yang dia mau kaos kaki warna putih sedangkan kaos kaki yang diberikan ayah berwarna biru.

Ayah menyerah dan kembali duduk di meja makan sambil mengamati sudut-sudut ruang. “Tidak mau pergi kok pakai kaos kaki.“ Kataku pada adikku. Dia tetap saja merengek-rengek.

Ibu merangkak, mencari-cari di kolong meja dan kursi tapi tetap tidak menemu. Ternyata kaos kaki itu dipakai atau lebih tepatnya dipakaikan, pastinya oleh adikku, pada salah satu boneka mainannya. Ibu yang menemukannya.

Seakan tak perduli dengan kesalahannya yang lupa di mana menaruh kaos kaki, dia langsung saja menyambar kaos kaki putih satu-satunya dari tangan ibu. Dia pakai di tangan lalu meniru gaya orang balapan. Berputar-putar sambil meraung-raung, sampai ia sendiri merasa bosan. Tapi itu bukan berarti lelah dan berhenti membuat berisik.

“Kak lihat cara melompatku,“ serunya. Ia sudah melompat untuk kesekian kalinya. Mungkin sudah lebih dari seratus kali. Dia terus melompat-lompat. Lompatan yang diulang-ulang tapi adikku tak bosan-bosan. Jika dia menemukan satu lompatan yang sedikit saja berbeda, adikku akan berteriak minta perhatian, terutama kepadaku. Kepada ayah dan ibu dia jarang minta diperhatikan karena ayah ibu selalu mau memperhatikannya.

Aku bosan melihat tingkah polah adikku. Aku ke halaman samping. Di sana aku punya sebuah tenda kecil yang dinaungi sebuah pohon besar. Di sana aku menyimpan beberapa mainan yang kubuat sendiri: Sebuah rumah-rumahan yang kubuat sendiri dari ranting-ranting kecil, burung-burung origami yang kubuat dengan melipat-lipat kertas, kugantung di dahan yang menggelayut di dekat tenda, dan sebuah sarang untuk calon kelinciku.

Aku ingin punya kelinci tapi ibu belum membelikan. Seandainya aku tahu tempat dimana orang menjual kelinci, pasti aku akan membelinya sendiri dari uang tabungan. Bukankah kelinci itu lucu?

Kata ibuku kelinci itu suka berpindah-pindah rumah. Tapi aku pasti bisa membuatnya betah tetap tinggal di rumahku. Aku akan berlaku baik padanya, memberinya makan setiap waktu dengan daun-daun. Membelainya kalau mau tidur. seandainya aku punya kelinci pasti aku jadi punya teman saat sedang di tenda. Seandainya aku punya kelinci pasti aku selalu bisa menjadi embun yang ceria.

Aku punya mainan baru yang belum selesai. Orang-orangan yang terbuat dari rangkaian kayu. Tinggal kurang satu kaki. Aku belum menemukan ranting yang bentuknya tepat untuk menjadi kaki sebelah kiri. Jika sudah lengkap, akan kubuatkan orang-oranganku baju dari kain sisa ibu menjahit.

Mataku mencari-cari di sekitar halaman barangkali ada ranting yang kuharapkan. Beberapa ranting kutemukan tapi semuanya tidak pas. Ada yang terlalu kecil atau ranting yang lain terlalu besar.

Ada satu ranting yang ukurannya sedikit pas tapi bentuknya lurus. Aku ingin ranting yang bengkok menyudut sehingga orang-orangan yang kubuat seperti sedang berlari.

Aku sedang merangkak-rangkak di bawah pohon saat adik datang. “Kak sedang Apa?“ tanyanya. “Sedang mencari ranting,“ jawabku. Kemudian dia ikut-ikutan merangkak. Ikut mencari-cari ranting. Aku masih mencari di bawah pohon yang sama tapi adik sudah mencari sampai sudut-sudut halaman di bawah pohon yang berbeda. Dia lebih cepat bergerak kesana kemari. Setiap kali dia menemukan ranting, dia akan kembali berlari mendekat sambil menyorongkan temuannya. “Ini?“ tanyanya. “Bukan yang seperti itu,“ jawabku. Begitu berulangkali.

Aku jadi lebih sering mengomentari hasil temuan adik yang di sorongkannya daripada kesempatanku menimbang-nimbang hasil temuanku sendiri. Aku sudah hampir putus asa. Lebih baik aku menunggu dahan-dahan baru yang akan jatuh esok hari. Tapi adikku masih berlari kesana kemari. Hanya sesekali dia berhenti.

Adik sebenarnya tidak tahu ranting seperti apa yang aku inginkan. Dia hanya membawa apapun hasil temuannya.

Untuk kesekian kali dia berlari mendekat sambil menggenggam sebuah dahan baru hasil pencariannya. Dan dialah penemu itu! Dahan yang dia bawa tepat seperti yang kuinginkan. Lengkaplah bonekaku.

Aku melompat agar adikku tahu kalau aku senang sebagai ungkapan terimakasih. Adikku juga ikut melompat tapi ia mengulanginya beberapa kali. Sama seperti yang dilakukannya sewaktu tadi makan.

Agar dia tidak kecewa, aku ikut melompat-lompat seperti adikku. Aku jadi senang melakukannya. Aku merasa seperti penari yang pernah kulihat di televisi. Aku meniru beberapa gaya yang masih kuingat. Adikku meniru gayaku.

Kami berdua melakukannya sambil tertawa-tawa. Adikku mengusulkan beberapa gerakan dan kami berdua melakukannya bersama-sama. Sewaktu tadi di tempat makan aku bosan melihat adik melompat-lompat. Kini aku justru ikut melakukannya. Dia memang punya alasan untuk melompat-lompat.

Apakah aku masih butuh kelinci untuk menjadi teman bermain saat sendiri? Kini adik menjadi temanku bermain. Sebagai kakak, kini aku punya cara untuk bisa selalu menjadi embun yang ceria. Aku akan selalu mau ikut bermain bersamanya dan tidak menolaknya. Aku mulai paham, dia hanya ingin diakui kehadirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar